Kamis, 21 Juni 2018

LARI !!

Titik subuh yang memandang jenuh sekarang pudar dengan tampang riuh
pada matahari yang terbangun dari lintas batas,
aku tetap berdiri, mencoba meraih mimpi, mengikhlas kan apa yang saat ini pergi, dan menggapai baru tanpa harus mengubur lalu

Sudahkan sarapan pagi ?
lekas lah, lalu kita beranjak pergi,
bukan untuk menenangkan hati
tapi hanya meraih kembali makna menjelajah bumi

Ayo berlari !!!
Bukankah hari ini kita mencoba bangun dari berbagai ilusi
melompat !!!
Dan bukankah kita ingin bebas dari jantung yang sesak terjerat

Duduk lah di tepi pantai
memandang horisontal biru pekat yang damai
atau hanya berdiam di puncak gunung menunggu surya pagi secara sadar terbangun

Dan ingatlah
bahwa kelak, cinta tak hanya tentang merelakan tak hanya mengikhlaskan, tapi berjuang bangkit dari serbuan kenangan, Tak harus membuang yang lalu, dan berkompromilah dengan dahulu.

Sudahkah terbangun dari mimpi burukmu ?
tetaplah meraih impian, bergeraklah, wahai perasaan

Selasa, 19 Juni 2018

DIKSI


Bolehkah aku berbagi diksi
tentang seorang yang saat ini aku anggap ilusi
pernah berucap dan bernada tentang selamat pagi
menghantar pekat malam dan berdoa dalam mimpi

Dan kali ini, aku membentak lirih
pada segaris kuning yang tercipta oleh matahari
bahwa aku pernah bodoh dan dan tercabik perih
dihantam lebam dendam, di pendam kelam diam

Ketika sore datang dengan ringkih,
paru paru terjerat sesak pada ruang yang selama ini terisi,
kau dengan paksa menarik semuanya kembali,
seperti seakan mematahkan sistem kerja tulang sendi.

Lantas bagaimana sekarang aku berhalusinasi
menanya kabar pun kau masih mengendapkan emosi.
apakah kita harus berbagi pahit rasa kopi
hingga kau tau, bagaimana cerita kita nanti ?

Kau suruh aku pergi ?
lalu bagaimana kau betah dalam lingkar sendiri ?
bahkan aku yang mendiami bumi patah hati
tak mampu merekam menulis dan mengambil arti dari senyap yang menggantung pada dinding dinding ratap sunyi

namu ingat, bila suatu kali kau kembali dan menemui ku di sudut itu lagi, percayalah, bahwa aku tak pernah beranjak pergi, dan dengan berbagai peluru yang menghujam nadi, kesetian itu tetap ku jaga dengan rapi

BEKU

Dingin subuh membekukan detak jantung
Sesak hingga retak, lemah menuju binasa
Mencoba menerka luka di sepanjang langkah
Berdialog lirih tentang kenyataan pada pagi

Tepat setelah matahari membuka celah sunyi
aku tergeletak terdiam tak tahu arti, mengandai kata terhempas mimpi
merebus kehangatan, lalu menyiramkan ke badan
agar lara yang kau tinggal luntur bersama ingatan

Lepas kulit yang membalut raga,
perlahan kau cabut kenang yang ada
melibas bahagia yang tersisa
hingga kau membuatku seakan punah

dan pertanyaan pertanyaan yang tak mengerti bosan, selalu menghadap pelan
masikah ada harapan ?
masihkah kau beri aku kesempatan ?
dan pada kenyataannya kau hanya terdiam

Saat matahari mencoba meninggi
aku mengharap ada sebuah janji
tentang bagimana kita memulai lagi
meski hanya sebatas sapa, seperti 2 orang asing yang mencoba berkenalan lewat sosial media



Minggu, 17 Juni 2018

Mohon

Malam tersekat pada hampar kerinduan
Aku mendongak cemas pada keresahan
pada kata kata yang kau berikan
perlahan menuntunku ke pemakaman

Deru jantung terlilit kenang
otak kanan tak mampu lagi berimajinasi tentang depan
dan kau telah menancapkan dalam, paku paku kehancuran

aku memenuhi pesanmu dengan permohonan
beri aku kesempatan
dan akan aku lakukan,
beri aku kepercayaan, dan aku jaga dari kesia siaan

Air mata tak lagi basah
hati teracun, perlahan mati
jantung berdegup lemah
darah darah yang membawa rasa tak lagi terpompa
lantas masih kah kau tega
melihat orang yang pernah kau sayang
membusuk bersama bayang bayang kesalahan

Aku memang salah
merespon lambat, hingga kau lelah
aku memang bodoh
kau mencari harapan, aku pelan menuju kepastian
Maaf atas itu
tapi bukankah masih bisa terkejar
mengikuti bagian terang fajar

Selasa, 12 Juni 2018

Terka

pada depan teras rumah yang merengkuh sunyi
aku coba menerjemahkan diri
menatap layar 5 inci
dan mulai menerka pesan mu apakah itu dari dalam hati

Maafkan aku
bila lelah telah menderamu
bila bosan mulai mencekik mu
dan bila pudar mulai berkawan akrab denganmu

kamus kamus tentang romansa mulai kubuka
lembar demi lembar, terbaca kian samar
kata demi kata yang mulai mengertak tanya
dan dalam kalimat "berubah",
aku mulai panik, seakan menghadap binasa

Bertahanlah,
pada jerat jerat niscaya
percayalah,
pada sederet improvisasi yang ku buat
dan ingatlah
pada narasi yang perlahan membuka sekat

Ada sedikit harap yang ingin ku kejar
menghilangkan ragu, membalut raga
melihat senyum, lalu mendekap mesra
dan, sejenak kita mengandai khayal
tentang esok, kita bertualang kemana

sayangku,
terimakasih kali ini aku ukir merdu dalam tiap deskripsi deskripsi sajak  ini
biarka ia berkejaran, merangkak naik memasuki celah pikiran

sayangku
masih adakah sudut kecil dalam hatimu ?
sejenak aku singgahi, lalu aku pergi
bukan, bukan pergi meninggalkanmu sayang,
aku pergi bertualang, menjelajah vena, melewati aorta, dan lalu menemukan indah telaga dalam kisah yang tersimpan pada bilik kanan jantungmu

tolonglah,
aku yang pernah  merasakan patah
aku yang sekali melawan siksa
dan pendar cahaya yang mulai perlahan naik aku temukan pada coretan lensa mata,
dan kau, telah menarikku dari dalam jurang nestapa

sayang,
terimakasih ku menghujam deras tanpa henti
kau telah merekatkan retak pada jiwa yang sendiri
pada badan yang telah tertawan sepi
terpenjara kabut malam dan kuat aroma kopi, lalu kau datang, dengan menawarkan indah pagi

Venny, Tolong janganlah pergi

Minggu, 10 Juni 2018

2 Semesta

sebelumnya,
Kita adalah 2 semesta yang saling berbeda
Seperti sebuah replika mata angin
antara selatan dengan utara
tak pernah ada jiwa yang saling mengikat rasa

lalu kita bertemu pada pekat malam itu
di bawah redup lampu kota, di depan jalan raya
di dalam parkiran mini market biasa
aku memandang tanya, tanpa ada kata yang tercerna
menatap sombong, bersajak bohong
dan salam perpisahan,
hanya sebatas omong kosong

Tak ada batas waktu yang terjanjikan
kau muncul dengan berbagai kenapa
disudut atas kanan instagram,
kita saling berdialektika
perlahan kita mbahas destinasi
lalu merayap pelan pada musisi
dan pada akhirnya, kita saling melepas puisi

Terimakasih,
pada sebatas garis waktu yang terjadi
perlahan kita saling berbagi
mengajari sebuah arti
memperdalam inti filosofi
dan sulit terucap pada kalimat pergi

Sabtu, 09 Juni 2018

Makna dalam langkah

banyak orang yang berfikir bahwa alam dan gunung yang mengajari kita, terlebih para pendaki yang dengan bangga telah mencapai puncak ini dan itu, namun saya rasa, gunung, sungai pohon dan makhluk makhluk lain yang bersemayam bersamanya hanya melakukan hal hal biasa yang selalu mereka lakukan.
kita bukan lah makhluk yang selalu di tuntun, bahkan meminta semesta sekalipun, kita manusia adalah makhluk yang berfikir, yang dapat mencari makna dalam setiap kehidupan, entah dari gunung, dari laut, sungai bahkan halaman depan rumah kita
dan mendaki, bukan tentang belajar kepada alam, tapi lebih mencari makna, memperdalam filosofi, mengahayati arti, dan mengasah rasa
dan jika di andaikan, coba lihat tanah tanah yang kita pijak pada setiap jalur pendakian, ia selalu bersabar, ia tak pernah meronta, atau membelah, meski ia bisa, ia hanya ingin menuntun kita manusia manusia yang sombong, untuk melihat indah semesta, dari sini dapat kita cari sebuah arti, meski sakit terinjak, ia tetap ramah malah dengan sabar ia menunjukan indah.
dan semoga, setiap langkah kita, selalu ada sebuah makna, sebuah arti, yang kita renungi, sebagai warisan generasi nanti

salam langkah, salam kelana

Dicky Aliswan Qomarullah

Sajak "kau"

cangkir ku malam ini tak berisi kopi
Hanya berisi pekat aroma iri
membias tipis membalut getir emosi
Mencabik jiwa menikam nalar
hanya menyisa amuk liar

Aku pesan kopi ku sekali lagi
dan tepat ketika ku minum, ia mengalirkan genangan genangan nestapa
pahit yang kian menyudut sempit
hitam yang tak kuat meredam

dan kopi, perlahan terganti
pada jernih air putih.
terpampang jelas pada celah kornea mata
melihat diri yang kian hina
dan hanya kotor,
pada darah yang mengalir dalam vena

titik cahaya terlihat dari ujung sempit menara
pendar yang memancar
gelap yang termakan
cangkirku terhempas
pecahh !!!
menyisakan beling beling kerapuhan
dan tepat pada saat itu sajak yang berjudul "kau" datang
membersihkan serakan putus asa
menata kembali kepingan harap

Terimakasih
ya, terimakasih pada sajak yang berjudul "kau"
merekatkan yang retak
menata yang telah lama musnah
dan mengajak aku kembali, melihat titik terdalam dari semesta


Jumat, 08 Juni 2018

Jawab yang tak terlogika

Nadir hempas raih mencibir
Mengadu kata pada bibir yang terlumat singkir
Mengharap malam pada diam
membunuh pendar dalam sadar
Dan aku, tak mau melihatmu terpenjara dalam getir sela sela gontai payah

cekam kian menerkam
sepi kian sunyi
dan lampu lampu sudut ruang mulai padam
aku berimajinasi dengan andaian kata kita
melahap jelajah
mengurai deru tanya
sampai pada suatu titik, siapa kita ?

Jawab yang tak terlogika
tak mampu hanya dengan berdialektika
berdiskusi hingga mencapai diksi
mengoyak dalam cerita hingga terlahir nyata
dan bahkan dalam celah terdalam nalar tak mampu mengurai benar

Cukup
Mata kian lelah tertipu arah
jiwa mulai punah terlindas berat nelangsa
dan harapan itu masih ada dalam kaki yang melangkah pada kehidupan bumi dan pada sebuah tinggi jasad ini merekam remuk redam nestapa kehidupan